Selasa, 21 September 2010

Derita Pendidikan di Jawa Timur

Kompas Jatim, 27 Juni 2008

Oleh Moh. Yamin, Dosen FKIP Universitas Islam Malang

Dunia pendidikan di Jawa Timur (Jatim) kini menghadapi sebuah persoalan baru dan lebih kompleks, yakni ada sejumlah sekolah dasar, menengah pertama maupun atas dan sederajat di daerah pinggiran dan tertinggal Jatim yang jauh dari akses pemerintahan kota, kabupaten maupun provinsi dan itu masih sangat jauh dari layak untuk dijadikan tempat belajar serta mengajar (baca realitas). Sebab bangunan-bangunan sekolahnya terlalu tua sehingga rentan roboh dan ini sangat berbahaya ketika proses belajar mengajar sedang dilangsungkan dalam ruangan kelas.

Termasuk pula, sarana dan prasarana pendidikannya sangat sederhana mulai dari keberadaan buku-buku perpustakaan yang amat sedikit sekaligus terbitan lama, sedikitnya para guru yang memiliki kemampuan mengajar berkualitas dan minimnya pengadaan bahan pendukung belajar-mengajar lainnya. Ini belum lagi berbicara jumlah anak miskin yang masih banyak tidak mendapatkan akses pendidikan. Kuantitas mereka sungguh luar biasa. Yang jelas, buta aksara di Jatim dipandang cukup serius dan berada di titik nadir kendatipun tidak separah provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Anak-anak miskin yang hidup di bawah kolong jembatan, menjadi anak jalanan dan segala jenisnya cukup menyesakkan sekian kota di Jatim. Mereka menjadi sampah masyarakat yang seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Sebab mereka adalah calon generasi bangsa di masa mendatang. Namun karena kondisi memaksa dan terpaksa, mereka kemudian menjadi pengamen jalanan, pengemis, pencopet dan pelbagai jenis pekerjaan memalukan yang tidak layak disandangkan kepada mereka. Yang jelas, kondisi ironis tersebut memberikan satu ilustrasi cukup jelas bahwa pendidikan di Jatim belum mendapatkan perhatian sangat serius dari pemerintah kota, kabupaten dan provinsi Jatim.

Kehendak politik untuk mau meningkatkan kualitas masyarakat Jatim melalui pendidikan yang mendidik dan mencerahkan belum disentuh secara holistik. Alih-alih akan mencerdaskan kehidupan bangsa, hal tersebut ibarat menegakkan benang basah. Kemauan politik pemerintah untuk ikut memberantas buta huruf tidak diwujudkan secara nyata. Masih ada rasa enggan untuk mau membenahi kualitas pendidikan masyarakat Jatim. Kesadaran politik untuk membebaskan masyarakat Jatim dari lubang kebodohan tidak muncul dengan sedemikian jelas.

Sehingga rakyat Jatim pun kemudian harus hidup berkubang dalam kemiskinan pengetahuan. Dengan kondisi ironis demikian, jangan harap apabila kemajuan pendidikan di Jatim akan mampu dicapai dengan sedemikian berhasil. Sangat mustahil pula andaikan masyarakat di pedesaan dan daerah-daerah terpencil di seluruh daerah Jatim akan bisa menjadi orang-orang yang berpendidikan. Sangat jauh dari harapan ideal jikalau masyarakat akan melek pengetahuan. Sangat tidak mungkin pula bila masyarakat Jatim akan menjadi cerdas, terampil, pintar dan lain seterusnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Millineum Development Goals (MDGs).

Akan tetapi hanya golongan-golongan berduit saja yang kemudian bisa menikmati pendidikan, menjadi cerdas dan terampil. Mengutip pendapat Paulo Freire, sesungguhnya persoalan tersebut muncul karena pendidikan untuk kaum tertindas belum membumi di daerah-daerah marjinal (Pedagogy of Oppressed, Penguin Books, 1978). Pendidikan untuk memerdekakan masyarakat kecil dari jajahan kebodohan dan pembodohan baik struktural maupun kultural tidak digarap oleh pemerintah Jatim. Oleh karenanya, potret keadaan masyarakat Jatim pinggiran yang selama ini terjadi perlu sesegera mungkin diselamatkan. Pemerintah Jatim baik kota, kabupaten dan provinsi harus bangkit melawan kebodohan.

Menyelamatkan warganya adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalankan. Ini adalah amanat politik yang tidak boleh dilanggar dan atau dilupakan. Menyegerakan untuk memperbaiki bangunan sekolah-sekolah yang sudah hampir roboh, melengkapi perpustakaan yang sangat miskin buku-buku baru serta bermutu, mengadakan pendidikan dan pelatihan (diklat) metode pengajaran bagi para guru yang masih rendah kualitas, mengirim(kan) guru-guru terdidik dan berkompeten serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya ke sejumlah sekolah di daerah-daerah terpencil menjadi satu tanggung jawab politik yang wajib ditunaikan secepat mungkin. Segera menampung anak-anak miskin di jalanan untuk mendapatkan pendidikan menjadi sebuah keharusan tak terbantahkan.

Program pendidikan 9 tahun yang kemudian berubah menjadi 12 tahun pun perlu kian digencarkan. Pendidikan gratis dan murah meriah bagi anak-anak tidak mampu secara ekonomi wajib digalakkan. Anggaran pendidikan di Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) baik pemerintahan kota, kabupaten dan provinsi di Jatim harus dibesarkan persentasenya. Anggaran pendidikan yang berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan anak didik harus lebih diperbanyak ketimbang anggaran pendidikan untuk perjalanan dinas tertentu dan hal-hal lain. Meningkatkan kesejahteraan para guru pun harus diutamakan dan dibesarkan kuota penganggarannya supaya mereka lebih serius dan bertanggung jawab untuk menjadi pendidik-pendidik profesional.

Eksternal : http://mohyamin.wordpress.com/2008/06/30/derita-pendidikan-di-jawa-timur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar